“Sudah kukatakan bukan, ketidakmampuanmu itu yang harus disalahkan. Temanmu itu lemah, karena itu dia terbunuh. Kedua anak kembar yang kau asuh juga lemah, karena itu mereka diculik. Dan kamu, kamu juga lemah, karena itulah kau hanya bisa menangis.” (Shishio Makoto)
Mungkin banyak yang sudah mengenal Shishio, tokoh antagonis di kisah Samurai X, musuh besar Kenshin Himura. Tapi saya yakin jarang yang tahu kalimat di atas. Kalimat itu disampaikan Shishio kepada seorang perempuan yang menyalahkannya karena tidak mau membantu menyelamatkan teman-temannya. Shishio yang dianggap memiliki kekuatan, dinilai bertanggungjawab karena tidak menggunakan kekuatannya untuk membantu orang lain. Perempuan itu adalah Komagata Yumi, yang kemudian menjual jiwa dan raganya pada Shishio demi memperoleh bantuan kekuatan untuk menyelamatkan teman-temannya.
Dalam dunia nyata, apa yang dialami Shishio bisa jadi merupakan fenomena keseharian kita. Kita sering berusaha untuk menutupi ketidakmampuan kita dengan menyalahkan pihak lain. Kita menyalahkan guru atau dosen untuk menutupi ketidakmampuan kita untuk belajar dengan benar. Kita menyalahkan atasan kita di kantor untuk menutupi ketidakmampuan kita mencukupi nafkah keluarga. Kita menyalahkan pasangan kita untuk menutupi ketidakmampuan kita mendidik anak. Kita menyalahkan pemerintah untuk menutupi ketidakmampuan kita membeli rumah. Bahkan kadang kita menyalahkan Tuhan untuk menutupi ketidakmampuan kita menghadapi dan menyelesaikan permasalahan hidup yang demikian banyak.
“Maka adapun manusia, apabila Tuhan mengujinya lalu memuliakannya dan memberinya kesenangan, maka dia berkata, “Tuhanku telah memuliakanku.” Namun apabila Tuhan mengujinya lalu membatasi rezekinya, maka dia berkata, “Tuhanku telah menghinakanku.”” (QS Al Fajr : 15 – 16)
Menyalahkan dan mencari-cari kesalahan, memang selalu lebih mudah dibandingkan berpikir dan bertindak untuk mengatasi permasalahan. Padahal sejatinya menyalahkan pihak lain tidak akan membawa perubahan besar terhadap kondisi orang yang menyalahkan. Inilah hakikat orang-orang lemah, mereka lemah dalam usahanya, merasa malas, tidak mampu atau bahkan takut mencoba menghadapi masalah hidup, berharap dan mengandalkan pihak lain untuk menyelesaikan masalah itu untuknya.
Belakangan ini, kita akan mudah menemukan orang-orang lemah tersebut, bahkan mungkin sadar atau tidak kita telah bergabung dalam barisan mereka. Bergerombol agar terlihat besar dan kuat, di dunia nyata maupun maya, untuk kemudian secara kompak (bahkan kadang terorganisir) menuding dan menyalahkan pihak lain atas masalah yang tak bisa diselesaikan. Masyarakat pun akhirnya terbagi pada kubu-kubu yang saling berhadapan, with or without us. Pro pemerintah dan anti pemerintah. Pro harga naik dan anti harga naik. Pro agama S dan anti agama S. Pro teroris dan anti teroris. Dan pro – anti lainnya yang asyik dalam debat berkepanjangan, minim solusi, kalaupun ada solusi yang muncul dari hasil perdebatan, yang terjadi kemudian adalah saling tunjuk untuk mengeksekusi solusi tersebut.

Andai energi dan waktu yang kita habiskan digunakan untuk mencari dan melaksanakan solusi atas kenaikan harga misalnya, dengan membuat energi alternatif yang harga jualnya tidak kayak jungkat-jungkit dan naik-turun, atau membuat tulisan tips dan trik belanja hemat, itu akan lebih bermanfaat daripada terus menuding dan menyalahkan pihak lain.
Mengkritik atau memprotes segala macam ketidakadilan menurut saya tidak terlarang, harus malah. Namun bila kita hanya fokus pada mengkritik saja, hingga setiap hari kerja kita hanya menjelek-jelekkan sambil menyalahkan pihak yang dikritik, maka benarlah kalimat Shishio di awal tulisan, kita hanyalah segerombolan manusia lemah yang mencoba menutupi ketidakmampuan diri untuk membuat perubahan.