Pemabuk yang Menggugat Penciptaan Neraka

“Ustad, mengapa surga ada dan neraka tercipta?” pertanyaan itu diajukan oleh seorang lelaki paruh baya, usianya terlihat jauh di atas para peserta mabit* lainnya yang mayoritas adalah mahasiswa. Pertanyaan yang agak nyeleneh menurut saya, tak heran bila melihat penampilannya.

Sosok lelaki itu sudah menjadi pusat perhatian sejak awal masuk ke dalam masjid dan mengikuti kajian mabit. Baju dan celananya lusuh. Bajunya tanpa lengan dan celananya jeans belel. Wajahnya brewok dan tampak seperti orang tidak mandi berhari-hari. Dia juga masuk masjid sambil menenteng gitar, penampilannya benar-benar berbeda dengan peserta lainnya.

“Neraka dan surga Allah ciptakan adalah untuk mewujudkan keadilan hakiki bagi seluruh manusia,” kemudian ustad yang merupakan lulusan S2 Timur Tengah tersebut mengutip beberapa ayat Al Quran.

“Tapi apakah keadilan hanya dapat tercipta lewat surga dan neraka?” tanya lelaki itu belum puas. “Menurut Anda sendiri, apakah Anda bisa peroleh keadilan hakiki tersebut di dunia? Bila hukum dunia bersikap tidak adil dan berat sebelah, maka kepada siapa lagi Anda berharap selain pada pengadilan Allah nanti di akhirat?” lanjut sang ustad.

“Tapi Ustad, kenapa harus dengan menciptakan surga dan neraka?” lelaki itu masih belum puas. “Maaf, Anda terus menerus menanyakan pertanyaan yang sama dan pertanyaan itu sudah saya jawab. Bila Anda belum puas dengan jawaban saya, saya harap Anda berhenti bertanya dan memberikan kesempatan kepada jamaah yang lain,” akhirnya sang ustad memutuskan untuk menghentikan pertanyaan dari lelaki itu.

“Baik Ustad. Kalau pertanyaanku mengapa surga ada dan neraka tercipta dianggap mengganggu, lebih baik aku pergi saja,” akhirnya lelaki itu pergi keluar dari masjid. Tapi ternyata hanya berpindah ke selasar belakang masjid, sepertinya ingin tidur di sana.

Penasaran dengan maksud pertanyaannya, saya coba beranikan diri untuk beranjak menemui lelaki itu. Seorang teman mengingatkan, “Ente mau nemuin dia Bang? Hati-hati lho, tadi ane duduk dekat dia kecium bau minuman keras.” Ah, bikin deg-degan saja. Tapi kalau memang dia mabuk, orang mabuk yang masuk ke masjid dan ikut pengajian tetaplah sesuatu yang luar biasa.

Di hadapan lelaki yang sedang sedang berbaring itu, rasa deg-degannya malah makin kuat. Sosok fisiknya cukup besar, lebih tinggi dari saya. Lengannya terlihat kokoh berotot. Meski membawa gitar, menurut saya lelaki itu lebih mirip preman daripada pengamen.

“Eh, ada apa Bang?” lelaki itu melihat saya yang sudah duduk di sebelahnya. Tanpa diminta dia segera bangkit dan ikut duduk. Tanpa tersenyum dia menatap dan bertanya lagi, “Abang tadi dari dalam juga ya?” Akhirnya saya berhasil menyampaikan rasa penasaran saya padanya.

“Abang sendiri tau, kenapa surga ada dan neraka tercipta?” saya tak lebih tahu dibanding ustad kajian mabit tadi. “Aku ini Bang…” kemudian dia memulai ceritanya.

“…sudah lama merantau dari Medan. Ternyata di Jakarta tak mudah cari kerja. Aku pernah jadi preman Bang, tapi tak mau lagi aku, aku masih takut mati. Sekarang beginilah aku, ngamen…” Saat dia menghentikan kalimatnya, sayapun memperkenalkan diri. “Namaku sejak lahir Mujahidin Razak Bang, tapi di Jakarta aku dipanggil Kampret…” jawabnya ikut memperkenalkan diri.

“Abang tahu, aku tak pernah minta hidup begini, di jalanan. Tapi aku tetap tak mau nyusahin orang lain. Aku tak pernah mencuri, hak-hak orang tak pernah aku ambil. Aku memang suka mabuk Bang, tapi minumannya aku beli sendiri, pakai duit aku sendiri. Aku juga suka main lonte, tapi aku tak pernah ganggu istri orang, lonte-lonte itu juga aku bayar sendiri…” akunya bangga.

“Abang kalau ikut sama aku, nanti Abang bisa rusak. Aku pernah punya teman di Medan, dia susul aku di Jakarta. Sekarang malah jadi preman, pakai lonte tak mau bayar, padahal di Medan dia hafiz Quran Bang. Sudah aku bilang jangan begitu, tapi dia malah ninggalin aku…” matanya menatap kosong.

“Sekarang menurut Abang, apa aku pantas masuk surga?” pertanyaan tiba-tiba itu membuat saya terdiam, ragu menjawab. “Aku takut masuk neraka Bang. Aku dulu pernah pesantren, aku takut masuk neraka. Tapi aku masih suka minum, aku juga masih suka main lonte…”

“Jadi kenapa surga ada dan neraka tercipta??!”

Saya mulai bisa menangkap maksud pertanyaannya. Seperti syair “Ilahilastulilfirdausi…” Mujahidin Razak sedang mencoba menemukan jalanNya. Tapi sepertinya para ‘penghuni’ jalan yang dia tuju ramai-ramai menolaknya. Alih-alih menyambut dan membantunya menemukan jalan, para ‘penghuni’ itu (termasuk saya) justru merasa takut pada penampakan fisik dan bau napasnya.

Mengaku pusing dan sakit kepala, Mujahidin Razakpun menutup percakapan kami, dia pamit tidur. Saya pun kembali pada teman-teman di dalam. Kembali pada ketenangan batin bersama teman-teman sepemahaman. Istilah kerennya, sefikroh.

Entah itu ketenangan hakiki, atau malah menjerumuskan pada ketidakpedulian.

Pagi hari setelah sholat Subuh, sambil mengikuti kultum dari pengurus masjid, saya melihat Mujahidin Razak sholat. Sendirian.

Catatan:
* mabit secara bahasa berarti bermalam, umum digunakan sebagai salah satu bagian dari ibadah haji, namun di Indonesia istilah mabit digunakan untuk menyingkat Malam Bina Iman dan Takwa
** tulisan ini adalah kisah nyata berdasar pengalaman pribadi penulis

4 thoughts on “Pemabuk yang Menggugat Penciptaan Neraka”

    • Lanjutannya, saya tidur, dia tidur. Pagi ketemu lagi pas sholat subuh, cuma dia gak ikut jamaah, di selasar masjid sholatnya. 😀

      Reply

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.