“Jangan Mas, saya takut. Saya gak mau ketemu dia lagi,” jawab Bunga (bukan nama sebenarnya) saat itu. Ketika itu, Bunga curhat ke saya tentang pelecehan seksual yang dilakukan salah satu rekan kerjanya. Saya yang mengenal keduanya menawarkan kepada Bunga untuk mengkonfrontasi ceritanya dengan si pelaku, namun karena Bunga saat itu tidak bersedia, akhirnya kasusnya menggantung. Bunga sendiri kemudian memilih keluar dari kantor tempatnya dan pelaku bekerja.
Di lain waktu, seorang teman saya yang juga vendor penyedia barang elektronik, curhat tentang tindakan beberapa oknum purchasing yang meminta komisi padanya, bila mau terus dapat order dari perusahaan tempat mereka bekerja. Saya yang mengenal salah satu HRD perusahaan tersebut, menawarkan pada teman saya untuk melapor agar ada tindakan lebih lanjut.
“Nggak usah deh, gue gak mau kasusnya diperpanjang, karena gue gak punya bukti apapun. Nanti malah dituduh balik dan dikatakan sakit hati karena sudah lama gak dapet order. Gak bagus buat bisnis gue ntar,” hindarnya ketika itu.
Berkaca pada dua kasus di atas, hati saya membatin, apakah teman-teman saya telah mulai kehilangan keberanian memperjuangkan kebenaran? Untuk skala lebih luas, apakah itu juga cerminan kondisi masyarakat kita? Ketika menerima perlakuan tidak adil atau bahkan zalim, hanya bisa kasak-kusuk di belakang sementara di depan seolah ikhlas menerima. Bisa jadi kedua orang yang curhat kepada saya di atas, mencerminkan sebuah potret yang lebih besar tentang fenomena kepengecutan di negeri ini.

Pada tahun 2011, Indonesia sempat dihebohkan oleh kisah heroik Ny. Siami yang melaporkan praktik nyontek massal di sekolah anaknya. Sayang apa yang dilakukannya tidak mendapat dukungan orang-orang sekitar, malah keluarga Ny. Siami diusir dari kampungnya. Selain Ny. Siami, masih banyak sebenarnya orang-orang yang berani melaporkan kecurangan dan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, sayangnya mayoritas kisah mereka berakhir tragis.
Kenyataan itu kemudian menciutkan nyali banyak orang yang memiliki semangat menggebu untuk menyuarakan kebenaran. Lemahnya keadilan hukum, yang tajam ke pihak lemah dan tumpul ke pihak kuat, turut andil dalam melahirkan kepengecutan dalam mental masyarakat. Belum lagi kondisi kubu-kubuan di masyarakat yang muncul belakangan ini, membuat bahkan pihak yang netral menjadi ragu menyuarakan kebenaran, karena mengkritik kubu A akan dianggap sebagai fans hardcore kubu B, pun sebaliknya.

Akhirnya ‘nasihat-nasihat’ seperti, “Sudahlah, yang penting kita kan gak ikut-ikutan,” atau “Gak usah cari masalah deh, mending biarin aja,” bahkan pembenaran seperti, “Masih banyak koq yang kesalahannya lebih besar, gak usahlah yang kecil kayak gini diributin,” dan “Sudahlah, yang kita lawan itu sistem, budaya, gak bakal menang kita melawannya. Mending ikut arus saja,” sering disampaikan kepada mereka yang mencoba bersuara melawan.
Bila sudah seperti itu, mungkin kita (termasuk saya) semua memang memiliki andil dalam segala kebobrokan negara ini, dengan menjadi bagian dari para pengecut yang hanya bisa diam, bahkan ketika hak-hak pribadinya dirampas.

-ditulis ulang dari postingan saya di Kompasiana, 25 Juni 2011-
Aiih jleb pisan gan. Pertamax yee…monggo sekadar main nengok ke parenthink.net 🙂
Huuu, ada yang ninggalin jejak 😛