“Gajinya sih gede, tapi jaraknya jauh banget Pak, capek saya naik motor ke sana,” jawaban itu yang diberikan oleh Nugra, kepada Pak Arif yang menanyakan keputusannya terkait lowongan kerja yang Pak Arif tawarkan. Jawaban yang cukup membuat Pak Arif kecewa.
Bukan sekali-dua Nugra mengeluhkan kondisi kerjanya di kantor yang sekarang. Gaji pas-pasan, tempat kerja yang jauh, belum lagi statusnya sebagai karyawan outsourcing yang bisa ‘dikembalikan’ sewaktu-waktu, tentu saja prospek karirnya pun tak jelas. Setelah menikah dan punya anak, hidup Nugra terasa lebih merana.
Itulah yang membuat Pak Arif tergerak untuk menawarkan pekerjaan padanya. Gaji lebih besar, status jelas, bahkan prospek karirnya tergambar jelas. Tapi jarak yang lebih jauh, walau kantor menyediakan bis jemputan di terminal Lebak Bulus, lebih dekat dari kantornya saat ini, Nugra tetap menolak.
Lain lagi kisah Wasilah. Biasa dipanggil Mbak Ilah, Wasilah awalnya hanyalah seorang ART di kompleks perumahan kawasan Bintaro Tangerang Selatan.
Wasilah yang dulu dapatlah disebut miskin. Rumahnya ngontrak dengan hanya seukuran kamar rumah pada umumnya. Rumah tanpa sekat, tanpa kamar tidur atau kamar mandi dan bocor banjir bila hujan. Seluruh aktivitas keluarga bercampur di ruang yang sama. Kecuali mandi dan buang air di jamban umum yang disediakan empunya kontrakan, Wasilah dan suaminya makan, tidur dan memproduksi anak di ruangan yang itu-itu juga.
Hebatnya Wasilah, dia sangat telaten mengurus anaknya. Saat bekerja, demi memastikan anaknya mendapat ASI eksklusif, Wasilah selalu membawa bayinya ke tempat kerja. Bila majikannya tidak setuju, biarlah Wasilah mencari tempat kerja lain, tempat dia diizinkan membawa bayinya. Alhasil, Rini dan Yuli, juga sekarang Radit, selalu mendapat kasih sayang penuh Wasilah.
Anak-anak Wasilah usianya berjarak cukup jauh, minimal 5 tahun. Jadi saat Wasilah punya bayi lagi, bisa dipastikan anak sebelumnya sudah bisa mandiri. Karena Wasilah walaupun miskin, tidak mau membebani tetangga dengan titipan anak-anaknya.
Wasilah kini telah menjadi lebih berdaya. Bekerja di rumah makan bersama suaminya, Wasilah bisa membeli rumah sendiri, walau kredit. Perjuangan Wasilah, berhasil mengangkat derajat keluarganya.
Mental miskin. Itulah menurut saya yang menjadi pembeda kisah Nugra dan Wasilah di atas. Nugra adalah tipikal orang yang selalu mengeluh, tapi tidak mau susah dalam menjalani solusi. Inginnya banyak orang bersimpati dan memberikan bantuan, tapi bantuan yang diberikan ditolak, karena menyusahkan.
Orang dengan mental seperti ini adalah orang yang inginnya serba instan. Bagi mereka kenikmatan dunia haruslah diberikan tanpa syarat dan kesulitan. Bila menganggur, inginnya bisa kaya karena menganggur, ending terburuk ia akan berjudi. Bila bekerja, inginnya bisa naik gaji tanpa harus naik jabatan dan tanggung jawab, ending terburuk ia akan korupsi.
Sedangkan Wasilah, menurut saya bermental kaya. Dia bukanlah tipe orang yang mengharapkan belas kasihan orang lain. Tidak ada pekerjaan hina bagi Wasilah, asalkan halal. Perjuangan hidup baginya adalah sunnatullah, semakin berat ujiannya, akan semakin tinggi derajat kehidupannya di sisi Allah. Mengeluh dan menyalahkan Tuhan atas takdir kemiskinan takkan membawanya ke mana-mana selain merasa dengki pada rezeki orang lain.
Namun sayangnya mental miskin di negeri ini telah membudaya bahkan hingga lapisan masyarakat tingkat atas, kaya harta tapi mentalnya miskin. Akibatnya segala kekayaan itu tak pernah menentramkan jiwanya. Para pengusaha, ‘membunuh’ usaha lainnya agar tanpa saingan. Para pejabat, membuat aturan yang memperkaya diri dan keluarganya saja.
Jadi manakah yang lebih baik, hidup bergelimang harta tapi bermental miskin, atau hidup kurang harta tapi bermental kaya?

Saya yakin hampir semua orang menginginkan hidup bergelimang harta dan bermental kaya. Tapi jalan ke sana pastinya tidak akan mudah. Karena itu, berhentilah mengeluh dan mulailah melakukan yang terbaik dalam setiap detik kehidupan selanjutnya. Negeri ini membutuhkan banyak Wasilah, jadi bila kita menganggap negeri ini sedang terpuruk, cobalah berpikir, jangan-jangan kita semua telah jadi seperti Nugra.
-ditulis ulang dari postingan saya di Kompasiana, 2011-