Ketika kecil saya senang bila diajak ke bioskop. Senang melihat hal-hal yang futuristik dan beyond imagination (halah). Apalagi dahulu kala, sebelum ada yang namanya twenty-one (bioskop 21 yang sekarang menguasai jaringan bioskop Indonesia), pemutaran film di bioskop biasanya memiliki waktu istirahat. Saya tidak tahu kenapa dulu bioskop ada waktu istirahatnya sedangkan sekarang tidak, tapi yang saya suka ketika itu adalah saat istirahat, bapak pasti akan membelikan es mambo atau es krim di kantin bioskop tempat kami menonton (dan sepertinya itu hal utama yang membuat saya menyukai bioskop saat kecil).
Film yang paling berkesan bagi saya ketika itu adalah King Kong. Saya beserta bapak dan adik-adik tercinta menontonnya di Tamara Theatre, Velbak Kebayoran Lama (kemudian berubah jadi Amigo 21 dan sekarang di sana sudah bukan lagi bioskop). Ingat sekali momentum nangis kejer (istilah yang saya dapat dari ponakan saya, hehe) ketika menjelang film main, tapi kami saat itu masih ada di taksi yang supirnya dengan penuh kreativitas berusaha mencari jalan pintas tercepat sampai bioskop tapi malah nyasar gak jelas muter-muter ampe pusing akhirnya membuat kami melanjutkan dengan jalan kaki. Untungnya tidak terlalu terlambat, ketika kami sampai, film baru dimulai.
Saya ketika itu takjub dengan keberadaan King Kong (ini bukan King Kong yang diproduksi tahun 2005 lho ya), gorila raksasa yang membuat saya terbayang ngeri, bila nanti keluar bioskop King Kong-nya lepas dari bioskop dan mengacaukan kota Jakarta, apa yang harus saya perbuat? Bisakah saya dan bapak, serta adik-adik menyelamatkan Jakarta dari teror gorila besar tersebut? Benar-benar rasa tanggung jawab besar yang sudah saya miliki ketika itu, haha.
Sekarang setelah masing-masing stasiun tivi memiliki acara pemutaran film bioskop, saya menjadi enggan ke bioskop. Selain karena tiketnya sudah tidak Rp 250 lagi (ya, waktu saya kecil segitu lho harga tiket bioskop), saya lebih memilih duduk santai di depan tivi tanpa antri bila ingin menonton film yang nantinya akan tayang juga di stasiun tivi tertentu. Kalau tidak sabar menunggu tayang di tivi, saya tinggal mampir ke rental original untuk menyewa film-film yang ingin ditonton. Murah dan tidak ribet.
Menurut saya, menonton film mampu merangsang dan meningkatkan daya imajinasi kreatif. Karena itulah saya menyukai hampir semua jenis film. Tapi dari semua itu, entah kenapa saya kurang berminat dengan film-film lokal negeri sendiri yang sekarang banyak diputar di bioskop. Menurut saya, rata-rata film Indonesia minim kreativitas (terserah dah mau dibilang gak nasionalis gapapa). Agak ilfil juga ketika melihat poster bioskop 21, The Last Airbender dan Eclipse bersanding dengan Pocong Keliling (itu pocong gantiin hansip ronda atau gimana sih?).

Yang satu menceritakan imajinasi luar biasa tentang perang para pengendali elemen alam, yang satu menceritakan kisah vampire dan werewolf yang tidak biasa, sedang yang terakhir dengan ‘kreatif’nya menceritakan tentang pocong yang ronda setiap malam, mengetuk pintu rumah warga untuk memastikan tidak ada maling di sana.
Menurut saya, banyak (bukan seluruhnya lho) sineas Indonesia yang memiliki imajinasi kreatif sebatas ‘menghibur selangkangan’ saja. Kreativitas mereka berkisar antara membuat film horor dengan artis berdada besar berbodi seksi seperti dalam Hantu Jamu Gendong, Dendam Pocong Mupeng, Suster Keramas, Hantu Aborsi sampai Diperkosa Setan. Setelah menonton dan lumayan menikmati Jelangkung (2001), saya sekarang menjadi malas menonton film horor lokal.
Itu film horornya, belum kalau membahas film (katanya sih komedi) yang memang menyasar audience ‘selangkangan’ seperti Pijat Atas Tekan Bawah, Extra Large, Mas Suka Mas Ukin Aja, Hantu Mak Erot (emang ada yah??) dan entah apalagi. Bahkan film Comic 8 yang menurut saya cukup bagus, ‘terpaksa’ memasukkan Nikita Mirzani dalam daftar pemainnya. Entah apakah selera audience kita memang seperti itu, tidak mau ke bioskop kalo gak ada yang seksi-you-can-see di dalam filmnya.
Kondisi itulah yang membuat saya kemudian memutuskan untuk turun gunung (halah, apalah saya ini) kembali nonton bioskop ketika Ayat-ayat Cinta diputar, karena bila film tersebut ditonton dan laris, maka -logika bodoh saya- akan banyak produser dan sutradara yang memproduksi film seperti itu. Juga ketika Laskar Pelangi tayang di bioskop, Garuda di Dadaku, Rumah Tanpa Jendela dan berbagai film (yang saya anggap) bermutu lainnya.
Tapi ternyata film-film hasil imajinasi selangkangan kemudian masih banyak diproduksi, padahal saya (dan saya tahu teman-teman yang saya kenal) tidak pernah menontonnya. Mungkin karena memang peminatnya banyak (meskipun filmnya tidak bagus), sehingga kemudian menginspirasi seorang vokalis band untuk memproduseri dan menyutradarai filmnya sendiri, bahkan artis-artisnya tidak dibayar meskipun beradegan bugil!! Dan buktinya film itu laris manis, bahkan sampai ‘diekspor’ ke luar negeri (ini aselinya nyinyir si vokalis yang sekeluar penjaranya bikin band baru itu).
Maka benarlah apa yang dikatakan Aa Haji Pidibaiq; Seandainya aku boleh memilih sebelum dilahirkan, betapa enak menjadi perempuan, tinggal membuka aurat dan lelaki bekerja keras untuk mendapatkannya. (Aphorisma 01)