Film 3: Sholatlah Sebelum Sholat Itu Dilarang

“Gak sampe 20 tahun, 232 tempat ibadah ditrasform jadi gudang. Pembela minoritas, jual slogan kebebasan, begitu jadi mayoritas malah makin nginjak yang sekarang minoritas…”

(LAM)

Jakarta tahun 2036 tidak lagi seperti Jakarta yang kita kenal sekarang. Suram, gelap, penuh nuansa kehancuran dan terbagi menjadi beberapa distrik (yang diperlihatkan dalam film hanyalah Distrik 7 dan 9). Konflik besar yang dalam film ini sering disebut sebagai “revolusi”, telah membuat Jakarta tak lagi indah. Agama menjadi musuh bersama, penganutnya telah menjadi minoritas dan dianggap sebagai sumber konflik yang cenderung melahirkan tindakan terorisme atas nama agama. Latar belakang itulah yang kemudian memisahkan 3 sahabat; Alif, Lam dan Mim dengan jalannya masing-masing.

Tema film “3” adalah tema yang umum diangkat dalam film-film Hollywood, namun amat sangat jarang diangkat dalam film Indonesia; konspirasi. Sepanjang film penonton akan diajak untuk bertanya-tanya, “Siapa pelakunya?” “Siapa otak/dalang di balik pelaku?” “Apakah benar yang ditangkap (dan dibunuh) adalah pelakunya?” Penonton seakan ingin dibawa ke ingatan tentang berita-berita nasional penangkapan (terduga) teroris, termasuk berita penangkapan, pembunuhan bahkan pengepungan (terduga) teroris yang pernah ditayangkan secara live di media nasional. Tapi jangan kemudian berpikir bahwa film “3” adalah film ‘mikir’ seperti trilogi The Matrix, atau film ‘berat’ bertema kepunahan agama seperti film The Book of Eli, tidak. Film ini lebih bernuansa seperti The Bourne series, hanya minim adegan tembak-tembakan. Alurnya berjalan cepat dan setiap adegannya mengungkap satu-persatu pertanyaan-pertanyaan seputar teori konspirasi di atas.

Secara akting, para pemeran film “3” terbilang cukup bagus, walau kredit khusus layak diberikan kepada pemeran Lam, Abimana Aryastya. Abimana yang sebelumnya dikenal sebagai pujangga cinta online dalam Republik Twitter, cukup berhasil memaksimalkan perannya yang memang memiliki porsi pengembangan karakter lebih besar dibanding yang lain. Adu akting dengan istrinya yang diperankan Tika Bravani, pemeran Fatmawati dalam film Soekarno, mengalir natural dan mampu mengaduk-aduk emosi penonton.

Film “3” dibuka dengan Alif sebagai sentral cerita. Bagaimana kematian orangtuanya telah membuat Alif memilih bergabung dengan Detasemen Khusus untuk memberantas teroris. Namun di balik setiap aksi ‘heroik’nya membunuh para pelaku teroris, sebenarnya ada keraguan dalam hatinya, benarkah mereka yang dia bunuh adalah teroris? Hal itu kemudian membuat Alif menjadi sosok yang secara diam-diam rutin menafkahi para janda teroris yang dibunuhnya, termasuk Laras, janda yang pernah menjadi cinta sejati Alif.

Kemudian sentral cerita beralih ke Lam, seorang jurnalis idealis yang sering membuat media tempatnya bekerja merasa terancam, karena investigasi cover both side-nya dalam mengungkap aksi-aksi terorisme. Lam (dan keluarganya) yang masih rajin menjalankan sholat 5 waktu, dianggap tidak bisa obyektif dalam setiap investigasinya, karena akan berpihak pada agama tertentu. Pada kenyataannya Lam bukanlah tipe jurnalis seperti itu, cara berpikirnya sempat diungkapkan kepada Alif dengan kalimat, “Tampilan dunia ini bergerak 3 dimensi, lihat satu titik dari berbagai sudut pandang. Udah waktunya loe lepas kacamata kuda loe!”

Sosok terakhir yang menjadi sentral cerita adalah Mim, yang digambarkan paling ‘soleh’ di antara ketiganya. Berbeda dengan Alif yang mengejar cinta Laras atau Lam yang menikah dengan Gendis, Mim mengabdikan diri sepenuhnya pada dakwah pesantren dan seperti tidak ada waktu untuk terbuai dalam romansa cinta-cintaan. Lewat Pondok Pesantren Al Ikhlas yang dipimpin Kyai Mukhlis, Mim yang juga dipanggil ustad, tanpa kenal lelah berusaha menyebarkan pemikiran Islam yang damai, menyatukan berbagai aliran mahzab yang kadang berseberangan, bahkan menolak usulan yang mengajaknya memerangi aparat negara karena telah bertindak zalim kepada para ulama dan umat Islam. Jawaban pamungkas Mim kepada pemberi usulan itu hanyalah 3 kata, “Sabar. Taat. Ikhlas.”

Peristiwa pengeboman di sebuah kafe, kembali mempertemukan ketiganya. Alif yang memburu pelaku, Lam yang mencoba mengungkap kebenaran di balik pengeboman, serta Mim yang membela pesantrennya dari tuduhan “sarang teroris”. Inilah garis besar cerita yang ingin dibawakan film “3”, bahwa sebuah peristiwa (pengeboman misalnya) ternyata memiliki banyak sudut pandang yang saling terkait dan melengkapi. Jangan pernah melihat dan menilai dari satu sudut pandang saja.

Alif Lam dan Mim
Trio Tokoh Utama Film 3

Secara garis besar, terdapat 3 nilai-nilai yang ingin disampaikan lewat peran Alif, Lam dan Mim:

  1. Ada sebuah rencana makar luar biasa yang menyeret Alif, tidak hanya mengancam nyawanya, namun juga masyarakat yang harus dia lindungi. Dalam menghadapi makar tersebut, Alif mencoba berpegang pada kalimat Laras, “Never lose hope.” Ya, jangan pernah putus harapan. Secanggih apapun makar yang dibuat oleh musuh, yakinlah bahwa harapan itu masih ada, yakinlah bahwa Allah adalah Maha Pembuat Makar.
  2. Ketika terjadi pengeboman kafe dan berita-berita yang muncul menyudutkan golongan Islamis, Lam tidak ingin mempercayainya. Sebagai jurnalis dia mencoba membuat berita dengan sudut pandang berbeda, membela golongan Islamis. Namun data-data primer yang dia peroleh semuanya menyudutkan pesantren yang dikelola oleh Mim. Hal itu kemudian membuat Lam tidak bisa menyelesaikan dan urung mempublikasikan tulisannya, karena dia tidak ingin menyebarkan berita berdasarkan opini pribadi dengan bukti yang kurang. Di dunia maya sekarang ini, mulai agak sulit ditemukan sosok seperti Lam, yang berpikir lebih dari sekali sebelum menyebarkan sebuah informasi tandingan ketika golongannya ‘diserang’. Padahal Allah telah memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berlaku adil, jangan sampai kebencian pada suatu kaum membuat seorang muslim tidak bisa berlaku adil.
  3. Sebagai ustad dan da’i, ruang gerak Mim tidaklah sebebas Alif dan Lam. Aktivitasnya lebih banyak di Distrik 9 saja, bahkan lebih sempit lagi, hanya di sekitar pesantren. Itu semua adalah akibat pelarangan penggunaan atribut dan simbol keagamaan di tempat-tempat umum, karena agama sudah dianggap penyakit bagi masyarakat. Bahkan anak laki-laki Lam, sempat dibully teman-teman sekolahnya hanya karena Lam pernah sholat di salah satu sudut sekolah. Sebagai muslim, ibadah seperti sholat seharusnya menjadi sebuah kenikmatan yang tidak rela direnggut orang lain. Jadi jangan lagi merasakan ibadah sebagai beban dengan berpikir “Sholatlah Sebelum Kamu Disholatkan” tapi lebih dari itu, cobalah untuk berpikir “Sholatlah Sebelum Sholat Itu Dilarang.” Nikmati setiap ibadah kita, nikmati setiap detik sholat kita.

tulisan telah dipublish juga di Kompasiana

Leave a Comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.