Pernah suatu kali tulisan saya dimuat di sebuah media nasional. Pujian pun berdatangan. Dari keluarga, tetangga, teman bahkan guru sewaktu saya SMA yang juga membacanya, turut memuji. Rasa senang dan bangga muncul ketika itu.
Namun seorang teman ada yang bersikap berbeda. Teman perempuan saya di SMA. Dia mengatakan bahwa jangan sampai saya lupa daratan dengan hal tersebut. Jangan sampai karena tulisan saya telah menasional, saya melupakan teman-teman dekatnya. Mungkin emosional, saya ketika itu jadi mengganggap kata-kata teman saya tersebut sebagai teguran, bahwa sikap saya berubah menjadi sombong setelah tulisan saya dimuat di media.
Seorang guru saya kemudian memberikan nasihatnya, ketika saya curhat tentang hal tersebut. “Kenapa harus jadi ragu menulis? Berapa oplah majalah itu? Kalo sampai ribuan, berarti tulisan kamu dibaca ribuan orang. Kamu sudah memberi manfaat pada ribuan orang. Itu jauh lebih penting ketimbang kamu memusingkan kritik satu orang, terus memutuskan berhenti menulis!” begitu kira-kira kalimat guru saya.
Lalu bagaimana dengan kesombongan? Bukankah kesombongan adalah sebuah dosa? “Kamu sombong atau tidak, hanya kamu dan Allah yang tahu. Tidak ada seorangpun yang berhak menjustifikasi hal itu. Memang sombong harus dihindari. Keikhlasan harus selalu dijaga. Karena itu berkaryalah, kemudian berusahalah untuk ikhlas. Sekarang kalo kamu berhenti berkarya karena omongan orang, apakah itu berarti kamu sudah ikhlas?” pertanyaan terakhirnya membuat saya ketika itu sadar, bahwa ikhlas itu letaknya di hati, bukan di perbuatan.
Soal keikhlasan itu, salah satu teman kantor saya dulu pernah bilang kurang lebih begini, “Orang-orang baik itu banyak yang takut terkenal karena takut riya. Padahal kurang terkenal apa Rasulullah dan para sahabatnya? Apakah itu berarti mereka semua riya? Jangan pernah kita takut eksistensi kita diakui secara nasional bahkan internasional, tapi takutlah menjadi riya, itu dua hal yang berbeda, bukan sisi dari satu mata uang.”
Bukan berarti saya merasa diri termasuk golongan orang-orang baik, karena saya sedang berproses ke situ, namun kalimat teman itu membuat saya mencoba memantapkan lagi tekad untuk menulis, agar bisa memberi manfaat bagi yang lain. Kalaupun di-SEO-kan, semoga tujuannya bukanlah ketenaran atau uang, tapi lebih kepada agar tulisan saya lebih banyak dibaca, sehingga lebih besar juga manfaatnya. Meski saya tahu bahwa nantinya bisa jadi akan muncul kritik, karena kita tidak bisa memuaskan semua orang, tapi saya mencoba meyakinkan diri bahwa saya menulis, dengan maksud ingin memberi manfaat pada orang lain.
Dan kalaupun suatu saat nanti saya berhenti menulis, itu adalah karena saya memang ingin berhenti menulis, bukan karena adanya kritik terhadap saya maupun tulisan-tulisan saya.

Ada sebuah kalimat bagus yang selalu mampu memotivasi saya untuk berkarya sambil mengupayakan keikhlasan, “Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya dan beramal karena manusia termasuk syirik.” (Al Fudhail bin ‘Iyadh)
-ditulis ulang dari postingan saya di kompasiana-
Reblogged this on Book Writing Challenge and commented:
Dari blog Omali #BookWritingChallenge